Jumat, 18 Mei 2012

Aku Ingin di Gedung Sekolah Saja

Ini adalah cerpen karangan saya yang pernah saya ikutkan lomba, tapi nggak menang. Semoga yang membaca ini bisa mengambil hikmahnya..
okeh.. 
Happy Reading..!

      ∞∞∞∞∞∞∞∞


   Sudah tiga minggu sejak meletusnya gunung Merapi, murid-murid SMPN 16 Sleman belajar di tenda pengungsian darurat. Tentu saja tidak nyaman. Belum lagi suara dentuman keras Merapi yang silih berganti.
            Pagi ini seperti biasa, kami belajar di tenda pengungsian. Namun ada satu kejanggalan. Hei! Di mana Pak Aldi, wali kelas kami yang baik hati?
“Rin, kamu tau gak di mana Pak Aldi?”, Tanyaku pada Rini.
“Gak tau juga. Menurut kabar yang beredar, Pak Aldi kena wedhus gembel!”, Kata Rini sedih.
“Innalillahi Wa inna lillahi rajiun!” Aku terkejut sekali mendengarnya.
           Tak lama proses belajar mengajar dimulai. Sejak ditetapkannya zona bahaya 20 km dari puncak merapi, murid-murid terpaksa belajar di tenda yang sumpek ini. Soalnya, sekolah kami hanya berjarak 17 km dari puncak Merapi. Begitu juga rumah murid-muridnya. Mereka semua mengungsi di tenda yang sama denganku, namaku Liza Wijaya dan sekarang duduk di kelas VIII SMP. Kami semua di sini, mengungsi dengan cemas, takut akan erupsi merapi dan hujan abu yang mengganggu pernafasan.
******
           Saat istirahat sekolah keesokan harinya, hujan deras melanda Sleman dan disertai petir yang saling bersahut-sahutan.
“Banjir..! Banjir..! selamatkan barang kalian!!”, Teriak salah seorang murid kelas 9.
“Gawat Rin! Ayo kita ke tenda” Kataku panik. Di tenda sudah banyak orang yang mengungsikan barang-barang, seperti kasur dan tikar.
“Lihat Liz! Tenda sekolah kita roboh!” Teriak Rini
“Oooh.. tidak!”, Kataku menangis. Kami berpelukan sedih.
           Satu jam kemudian, hujan reda. Sebagian orang membersihkan tenda dari lumpur yang terbawa hujan. Relawan TNI bersama murid-murid bergotong royong membangun kembali tenda sekolah kami yang sempat roboh. Hhh…apa salah kami Ya Allah.. mengapa kau timpakan ini semua kepada kami? Desahku sedih.
           Satu minggu berlalu. Aktifitas Merapi sudah mulai menurun. Pemerintah juga sudah menurunkan zona bahaya menjadi 15 km. Kami senaaang sekali.
“Akhirnya kita bisa kembali ke gedung sekolah juga ya Liz!”, Kata Rini senang.
“Iya aku juga sudah rindu gedung sekolah”, kataku sambil membereskan barang-barang. Tak lama truk yang akan mengangkut kami datang. Dengan tertib satu persatu pengungsi mulai menaikinya.
           Kini, kami sudah sampai di rumah masing-masing. Segera saja aku  membersihkan rumah dari abu merapi yang begitu tebal. Tiba-tiba Rini datang ke rumahku.
“Liz, ke sekolah yuk! Teman-teman yang lain juga udah pada ke sana. Kita bantu mereka yuk”, katanya.
“Ayooo..”, Kataku semangat.
Sampai di sekolah, kami segera membantu membersihkan kelas dari debu. Semua merasa gembira sekali. Seakan lupa dengan musibah yang mereka alami. Sore hari, gotong royong selesai, semua kembali ke rumah masing-masing. Begitu juga aku dan Rini. Kami berpisah di pertigan.
******
           Malam harinya, aku tidur di kamar kakakku. Sambil berusaha memejamkan mata, aku teringat dengan saudara-saudaraku yang sekolahnya hanya beberapa kilometer dari merapi. Sekolah mereka pasti sudah menjadi abu. Mungkin mereka akan lama sekolah di tenda sampai bantuan pembangunan datang. Tapi, mengingat pengalamanku sekolah di tenda yang sumpek, aku jadi ingin belajar di gedung sekolah yang nyaman saja. Aku tiba-tiba merasa rindu pada gedung sekolahku yang damai.
“Ah…! Ternyata aku adalah anak yang sangat beruntung!” Aku berkata dalam hati dengan penuh kesungguhan. Malam itu, aku berharap pagi segera datang. Karena aku ingin segera menemui orang yang berjasa padaku di sekolah.

1 comments:

Unknown mengatakan...

Simple but meaningful :)

Posting Komentar