Ini adalah cerpen karangan saya yang pernah saya ikutkan lomba, tapi nggak menang. Semoga yang membaca ini bisa mengambil hikmahnya..
okeh..
Happy Reading..!
∞∞∞∞∞∞∞∞
Pagi ini
seperti biasa, kami belajar di tenda pengungsian. Namun ada satu kejanggalan.
Hei! Di mana Pak Aldi, wali kelas kami yang baik hati?
“Rin, kamu tau gak di mana Pak Aldi?”, Tanyaku pada Rini.
“Gak tau juga. Menurut kabar yang beredar, Pak Aldi kena wedhus
gembel!”, Kata Rini sedih.
“Innalillahi Wa inna lillahi rajiun!” Aku terkejut sekali
mendengarnya.
Tak lama proses
belajar mengajar dimulai. Sejak ditetapkannya zona bahaya 20 km dari puncak
merapi, murid-murid terpaksa belajar di tenda yang sumpek ini. Soalnya, sekolah
kami hanya berjarak 17 km dari puncak Merapi. Begitu juga rumah murid-muridnya.
Mereka semua mengungsi di tenda yang sama denganku, namaku Liza Wijaya dan
sekarang duduk di kelas VIII SMP. Kami semua di sini, mengungsi dengan cemas,
takut akan erupsi merapi dan hujan abu yang mengganggu pernafasan.
******
Saat istirahat
sekolah keesokan harinya, hujan deras melanda Sleman dan disertai petir yang
saling bersahut-sahutan.
“Banjir..! Banjir..! selamatkan barang kalian!!”, Teriak salah
seorang murid kelas 9.
“Gawat Rin! Ayo kita ke tenda” Kataku panik. Di tenda sudah
banyak orang yang mengungsikan barang-barang, seperti kasur dan tikar.
“Lihat Liz! Tenda sekolah kita roboh!” Teriak Rini
“Oooh.. tidak!”, Kataku menangis. Kami berpelukan sedih.
Satu jam
kemudian, hujan reda. Sebagian orang membersihkan tenda dari lumpur yang
terbawa hujan. Relawan TNI bersama murid-murid bergotong royong membangun
kembali tenda sekolah kami yang sempat roboh. Hhh…apa salah kami Ya Allah..
mengapa kau timpakan ini semua kepada kami? Desahku sedih.
Satu minggu
berlalu. Aktifitas Merapi sudah mulai menurun. Pemerintah juga sudah menurunkan
zona bahaya menjadi 15 km. Kami senaaang sekali.
“Akhirnya kita bisa kembali ke gedung sekolah juga ya Liz!”,
Kata Rini senang.
“Iya aku juga sudah rindu gedung sekolah”, kataku sambil
membereskan barang-barang. Tak lama truk yang akan mengangkut kami datang.
Dengan tertib satu persatu pengungsi mulai menaikinya.
Kini, kami
sudah sampai di rumah masing-masing. Segera saja aku membersihkan rumah dari abu merapi yang begitu
tebal. Tiba-tiba Rini datang ke rumahku.
“Liz, ke sekolah yuk! Teman-teman yang lain juga udah pada ke
sana. Kita bantu mereka yuk”, katanya.
“Ayooo..”, Kataku semangat.
Sampai di sekolah, kami segera membantu membersihkan kelas dari
debu. Semua merasa gembira sekali. Seakan lupa dengan musibah yang mereka
alami. Sore hari, gotong royong selesai, semua kembali ke rumah masing-masing.
Begitu juga aku dan Rini. Kami berpisah di pertigan.
******
Malam harinya,
aku tidur di kamar kakakku. Sambil berusaha memejamkan mata, aku teringat
dengan saudara-saudaraku yang sekolahnya hanya beberapa kilometer dari merapi.
Sekolah mereka pasti sudah menjadi abu. Mungkin mereka akan lama sekolah di
tenda sampai bantuan pembangunan datang. Tapi, mengingat pengalamanku sekolah
di tenda yang sumpek, aku jadi ingin belajar di gedung sekolah yang nyaman
saja. Aku tiba-tiba merasa rindu pada gedung sekolahku yang damai.
“Ah…! Ternyata aku adalah anak yang sangat beruntung!” Aku
berkata dalam hati dengan penuh kesungguhan. Malam itu, aku berharap pagi
segera datang. Karena aku ingin segera menemui orang yang berjasa padaku di
sekolah.
1 comments:
Simple but meaningful :)
Posting Komentar